web 2.0

Minggu, 14 Oktober 2012

Mengenal rajanya para wali


Reporter: Fuadrifai
Rabu, 10 Oktober 2012 11:19:42
Mengenal rajanya para wali
Kategori Khas
Barangkali ini salah satu alasan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menziarahi makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri Qadiriyah, aliran tarikat terbesar sejagat. Dia diyakini sebagai raja para wali.

Pusara Syekh Abdul Qadir berada dalam kompleks di kawasan niaga uzur Al-Rasyid, jantung Ibu Kota Baghdad, Irak. Berdiri di atas lahan luas berbentuk segi empat, dikelilingi tembok berhiasan lubang-lubang setinggi lima meter. Terdapat sejumlah pintu masuk, termasuk gerban utama. Ruangan makam berada di kiri gerbang utama dan di atasnya terdapat sebuah kubah dari tembikar berglasir warna biru.

Ruangan itu berhubungan dengan sebuah zawiyah, tempat diadakan acara zikir oleh kelompok Qadiri dari berbagai daerah. Sebuah masjid megah tegak di sebelahya. Masjid itu memiliki dua mihrab karena ada dua imam, satu bermazhab Hanafi dan yang lain beraliran Syafii. Imam-imam ini adalah pemuka agama di Kota Baghdad. Para pengunjung dari luar sering berdesakan mendekati mereka sehabis salat untuk bersilaturahmi. Salah satu imam bernama Abdul Karim al-Mudarris, ulama Kurdi pernah menjadi mufti besar Irak.

Di halaman makam terdapat sebuah menara jam dan kolam untuk berwudu, dua madrasah, serta satu perpustakaan masih dikelola oleh keturunan Syekh Abdul Qadir. Beberapa gedung bertingkat ditata sebagai asrama. Peziarah datang dari seluruh dunia Islam, tapi orang Turki paling sering mengunjungi kompleks kuburan itu.

Nasab Syekh Abdul Qadir seolah menggambarkan betapa eratnya hubungan kakak adik, Imam Hasan dan Imam Husain. Ayahnya keturunan Imam Hasan dan silsilah ibunya bersambung hingga ke Imam Husain.

Sebagai raja para wali, tentu saja Allah menganugerahi lelaki bernama lengkap Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah al-Husna al-Jailani itu dengan sejumlah keramat. Ibnu Aal-Akhdhar dalama buku Jami Karamatil Auliya menceritakan suatu hari di musim dingin, di bersama rombongan mengunjungi Syekh Abdul Qadir. Walau cuaca amat dingin, beliau hanya memakai sehelai baju dan kopiah. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Beberapa orang mengipas-ngipas badannya. Keadaannya seperti di musim panas amat sangat.

Syekh Andul Qadir mengaku pernah mengembara seperempat abad ke berbagai negara. Selama itu pula, dia hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan meminum air sungai. Dia bahkan dapat bertahan tanpa minum setahun. Dengan kata 'kun' (jadilah), dia bisa mengubah segalanya. "Dengan 'kun', gunung bisa aku belah menjadi kue, lalu aku makan. Pasir bisa menjadi gula, aku taruhkan pasir itu ke dalam gelas dan aku tuangkan air laut ke dalamnya, lalu aku minum. Semuanya sudah aku tinggalkan, karena malu kepada Allah."

Al-Manawi berkata di antara keramat Syekh Abdul Qadir, ketika masih bayi, tidak mau menyusu kepada ibunya saban siang tiap ramadan. "Seumur hidupnya, lalat tidak pernah menjatuhkan kotoran kepada dia."

Suatu hari, seorang perempuan menyerahkan anaknya untuk belajar tarikat kepada Syekh Abdul Qadir. Dia menerima itu dengan gembira. Beberapa waktu kemudian, ibunya datang menjenguk. Dia melihat anaknya kurus-kering, mukanya pucat, akibat kurang makan dan tidur. Saban hari hanya dikasih makan sepotong roti gandum.

la sangat kasihan dan sedih melihat keadaan anaknya, lalu segera menemui Syekh Abdul Qadir. Mjursyid agung itu terlihat sedang melahap daging ayam. Lantas ia berkata, "Wahai Tuan, Anda memakan daging ayam, sedangkan anakku memakan roti?"

Beliau meletakkan tangannya ke tulang-tulang ayam itu seraya berkata, "Bangkitlah dengan izin Allah!" Maka ayam itu pun bangkit, hidup kembali seperti semula.

Sesudah itu, beliau mengucapkan, "Nah, bila anakmu itu sudah bisa berbuat seperti ini, dia boleh memakan apa saja dia sukai."

Suatu hari, seekor elang terbang di atas majelis Syekh Abdul Qadir. Burung itu berkicau sangat keras sehingga mengganggu hadirin. Beliau berkata, "Wahai angin, ambil kepala burung itu." Maka burung itu jatuh ke tanah, kepalanya terpisah dari tubuhnya, masing-masing tercampak ke satu sudut. Syekh Abdul Qadir lantas turun kursi, mengambil bangkai burung tadi dan diusap-usap dengan mengucapkan basmalah. Sejurus kemudian, elang itu hidup lagi.

Masih ada satu lagi wali yang dijuluki sultanul auliya, yakni Habib Abdullah al-Idrus bin Abu Bakar as-Sakran bin Abdurrahman as-Sagaf.
[fud]

0 komentar:

Posting Komentar